Ibu, sebuah kata singkat namun memiliki makna yang dahsyat. Ibu, pelita
hidupku. Tak dapat kusongsong waktu yang berliku tanpa dukungan dan harapanmu. Tak dapat ku
berlari tanpa kau ada di sisiku. Ibu,
kau bak pahlawan dalam hidupku. Kau bak telaga yang menyejukkan hatiku dari
duka yang selalu mengiringi langkahku. Ibu, kau adalah cahaya dalam kegelapan
malam. Engkau selalu datang di saat aku terlelap. Ibu aku sangat
menyayangimu.....
Dingin dan hujan gerimis pun
mengeringi hari-hari baruku. Dinginnya pagi ini seakan menusuk tulang-tulangku
yang mulai kaku karena dinginnya waktu. Tapi, hatiku selalu hangat karena Ibu.
Ibu yang menghangatkan dinginnya waktu dengan kasihnya yang tak terkira. Aku
bak anak durhaka bila tak memeluk erat Ibuku. Ibuku lah panutan dalam hidupku.
Doanya selalu mengiringi langkahku. Senyumnya laksana mentari pagi yang
menghapus segala lukaku. Memang keluargaku bukanlah konglomerat, bukan juga
saudagar maupun taipan atau bos perusahaan. Tapi, aku selalu bahagia berada di
sisi Ibuku walau, Ibuku memang bukanlah
manusia sempurna. Memang Allah menciptakan
manusia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbeda. Ibu memang mengalami
cacat fisik sejak lahir, beliau tak dapat berbicara alias bisu. Namun walau
begitu, rasa sayangku tak akan pernah terhapus sayangku hanyalah untuk Ibu
seorang. Inilah kenangan yang tersisa
sebelum bencana maha dahsyat itu mengubah segalanya. Mimpi dan harapanku serta
Ibuku seakan lenyap ditelan keganasan air bah itu. Bencana tsunami telah
merubah wajah tanah ronceng menjadi penuh dengan duka, lara dan nestapa. Kebahagiaanku bersama Ibu
sirna sudah. Aku harus rela kehilangan Ibuku orang yang aku sayangi.
26 Desember 2004
Pukul 7.58 WIB aku merasa seperti ada sebuah
guncangan yang begitu besar. Saat guncangan itu terjadi aku sedang mencuci
pakaian di sungai dekat rumah. Guncangan itu semakin lama semakin terasa.
Guncangan tersebut begitu luar biasa dahsyatnya. Bumi seakan murka, dengan
sekali guncang dapat menghancurkan beribu rumah yang berada di atasnya. Semua
berlari menyelamatkan diri. Mereka berlari seakan tak tentu arah. Sejujurnya
aku bingung dengan apa yang terjadi ini. Aku memang merasakan gempa ini tapi,
aku harus berbuat apalagi. Aku terdiam dalam sebuah kebisuan. Sekujur tubuhku
lemas tak berdaya. Hatiku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan tak enak
pun muncul seiring dengan isu yang mengatakan air di Pantai Lampuuk surut. Aku
diam tanpa kata. Perasaanku sungguh campur aduk tak karuan. Pikiran-pikiran
buruk pun menggelayuti seisi otakku. Aku ingin menangis. Aku tak tahu harus
lari kemana. Sedangkan Ibu, beliau sedang berada di dekat Pantai Lampuuk.
Sungguh aneh perasaanku ini. Aku bertanya pada diriku sendiri. Ibu, Ibu
sekarang berada dimana?. Tak berapa lama kemudian, Aku merasa
ada yang menarik tanganku. Aku hampir terjatuh karena dia menarikku dengan
sangat kuat.
“Dilara, kau ingin mati! Kau tahu bila kau
hanya diam disini kau akan tersapu ganasnya ombak.”
Aku diam sejenak. “ Ombak, maksudmu apa? Aku
tak tahu apa yang kau katakan?”.
“Aku tak bisa menjelaskan panjang
lebar. Air laut di Pantai Lampuuk surut. Perasaanku juga sama seperti apa yang kau rasakan. Aku sedih, aku bingung.
Tapi, kita sekarang harus lari sampai kebukit itu. Mungkin disana kita bisa
aman.”
“Ombak, ombak apa Faariha ?” Kataku
tak mengerti.
“Kau tak pernah baca koran? Tsunami.
Aku pernah membaca artikel itu. Stunami telah
meluluh lantahkan Papua Nugini pada 17 Juli 1998. Setidaknya 2.200 orang
tewas dalam musibah itu. Aku tak ingin kau jadi korban?”, kata sahabatku
Faariha dengan nada cemas.
Aku menuruti permintaan Faariha. Kami
berdua berjalan menyusuri lebatnya pepohonan dan semak belukar. Faariha nampak
menikmati perjalan kami ini. Ia tak segan membantuku bila aku kesulitan
menempuh medan yang berat ini. Faariha pun berhenti dari langkah kaki yang
tadinya cepat bak jet tempur. Faariha terdiam. Dia menerawang keatas. Tak
sampai satu detik Ia menangis dan memaksaku untuk mencepatkan lajuku. Aku
menurutinya dengan sedikit rasa aneh yang menyembul dalam benakku. Sesampainya
di bukit, Faariha memelukku dengan sangat erat. Dia menangis. Aku yang ia peluk
ikut meneteskan air mata. Sejenak aku dan Faariha terdiam dalam kepiluan. Tak
sampai semenit, aku melepaskan dekapan hangat seorang sahabat. Faariha kaget,
aku terdiam dalam kegalauan yang mendalam.
“Kau kenapa Dilara?”, kata Faariha
kaget.
“Ibu, Ibuku ada di Pantai Lampuuk. Aku
harus datang menyelamatkannya.”
“Sudah terlambat, lihat kebawah”.
Faariha menunjuk kebawah ombak besar setinggi hampir 9 m menerjang semua yang
dilaluinya. Aku melihat mereka seperti kapas yang berterbangan. Hatiku seakan
terguncang. Aku tertunduk lesu. Aku duduk dengan posisi menengadah. Aku berdoa
berharap ada jawaban dari sang Khaliq.
“Ya Allah selamatkan Ibuku. Selamatkan
beliau dari murkamu ya Allah. Ya Allah hanya kepadaMu lah hamba meminta dan
hanya kepadaMu lah hamba memohon . Kabulkanlah doa hambaMu yang sederhana ini
Ya Allah.”
Faariha yang duduk disebelahku pun tak
sanggup menyembunyikan kesedihannya. Ia menangis seraya mengusap kedua kelopak
mataku yang berlumur air mata.
“Tabah dan selalu berdoa kepada Allah.
Allah pasti akan mengabulkan doa anak sholeh seperti kau Dilara.”
Aku menangis tapi, aku juga bahagia
memiliki sahabat seperti Faariha. Faariha, dia sebenarnya anak dari adik Ibuku.
Ibunya meninggal saat melahirkannya. Ayahnya tak tahu kemana rimbanya. Aku
menganggapnya sebagai kakak karena usianya yang lebih tua 2 tahun dari aku.
Faariha adalah seseorang yang sangat tegar menjalani lika liku kehidupan ini.
Ia seorang yang ceria, ramah dan selalu taat kepada Allah. Cita-citanya sungguh
mulia. Ia ingin menjadi Ustadzah. Dia ingin menaikkan haji Ibu dan Aku. Mulia
sekali keinginannya. Tsunami mulai surut. Aku dan Faariha memutuskan untuk
turun. Sesampainya dibawah.Aku tertegun melihat banyaknya mayat yang terkapar
tak berdaya. Kaku, dingin, dan sangat mengenasakan. Aku tak kuat melihat mereka
yang sudah menjadi jasad ini. Sampah hasil tsunami bercampur dengan mayat
manusia. Aku dan Faariha bingung. Tak
ada orang yang mau memindahkan mayat-mayat ini. Mungkin, karena bantuan belum
datang. Atau bahkan tak ada yang mau membantu.
“Dilara, kita harus membawa
jasad-jasad ini ketempat yang lebih baik. Kasihan, aku tak tega melihatnya.”
Benar juga kata Faariha. Aku dan
Faariha memutuskan untuk menjadi relawan sukarela. Toh tak ada salahnya juga kami
membantu. Walau tak ada upah sesen pun
aku dan Faariha ikhlas lilahita’ala. Sebulan lamanya kami menjadi relawan.
Sebulan pula tragedi itu terjadi. Rasa sedih karena kehilangan Ibu makin
kental. Aku mengajak Faariha mencari Ibuku. Dari Banda Aceh hingga Singkil
jauhnya aku mencari dengan langkah yang tak pasti. Kami menumpang sebuah
kendaraan mirip tank dari Amerika. Aku takjub. Ternyata banyak relawan yang
membantu evakuasi korban tragedi Aceh. Mulai dari Amerika, Brazil hingga
Inggris bahu membahu menolong korban. Tak kalah salut relawan dari negeri
sendiri. Luar biasa perjuangan mereka. Sampaialah kami ketempat tujuan Rumah
Sakit Kota Meulaboh. Dari sekian banyak rumah sakit yang kami kunjungi. Kami
belum pernah mengunjungi rumah sakit ini baik pasca tsunami maupun sebelum.
Kami masuk. Gelap karena aliran listrik belum tersambung. Kami menuju lorong. Gelap
malah lebih parah lagi. Banyak suara rintihan anak-anak yang membuat suasana
semakin mencekam. Banyak orang
berlalulalang. Banyak pula orang-orang yang menangis karena mendapati
sanak saudaranya telah tewas. Kami
menuju ke tempat yang lain. Cahaya mulai masuk melalui celah-celah dinding. Aku
melihat banyak bercak darah. Aroma busuk pun mengelilingiku. Mungkin bau mayat.
Faariha mendekati sumber bau itu dan mendapati mayat yang sangat mengenaskan.
Aku dan Faariha berlari hingga menabrak seorang dokter.
“Maaf,”kata Faariha dengan nada panik.
“Kalian mencari sanak saudara kalian”.
“Iya, saya mencari Ibu saya. Sudah
sebulan mencari tapi hasilnya nihil.”
Dokter itu bernama Asir. Ternyata dia
rekan satu sekolah Faariha saat SMP. Asir membantu kami mencari dimana Ibu
berada. Dari dalam RS kami keluar berkeliling mengelilingi RS yang begitu luas.
Sampai akhirnya kami kembali kedalam. Aku sudah pesimis tak mungkin aku bisa
menemukan Ibu. Aku berbalik menatap lorong panjang itu. Aku melihat seorang
wanita paruhbaya mengenakan kerudung putih dengan rok panjang berwarna hitam
dan kemeja putih berjalan sempoyongan
menuju kearahku. Aku tertegun, inilah kuasa sang ilahi aku kenal betul. Dari
parasnya hingga cara berjalannya. Itu Ibuku. Ibu yang aku sayangi. Aku berlari
menuju kearah Ibuku. Aku menatapnya sejenak. Dengan air mata yang membasahi pipiku aku
memeluk erat Ibuku. Aku mencium kedua tangan Ibu yang dingin bagai es. Ibu tak
sanggup menahan kepiluannya. Beliau menangis sejadinya. Begitu pula Faariha dan
dokter Asir mereka ikut merasakan kebahagiaanku itu. Seisi ruang hening
sejenak.
“Ibu. Dilara tak tahu lagi harus berkata
apa. Hanya satu yang Dilara ingin ucapkan Ibu maafkanlah Dilara. Dilara tak bisa
menjaga Ibu. Seharusnya Dilara berlari sampai ke Pantai Lampuuk untuk
menyelamatkan Ibu. Tapi, semua sudah terlambat.”
Dengan kalimat yang kurang jelas Ibu
berkata, “ Tak apa nak Ibu selalu menyayangimu. Allah maha Besar. Dia yang
telah menyelamatkan Ibu dari Tragedi itu.”
Aku bahagia bisa kembali berkumpul
dengan Ibu yang sangat aku sayangi. Walau bencana itu meluluh lantakan
segalanya tapi, bencana itu tidak berarti
meluluh lantakan cinta dan kasih sayangku pada Ibu juga kepada Faariha sahabat
sejatiku.
Waktu terus bergulir 7 tahun sudah
bencana maha dahsyat itu terjadi. Duka belum sepenuhnya hilang dalam
sanubariku. Bencana itu bak mimpi buruk bagiku dan tak mungkin dapat aku
lupakan selamanya.
Akhirnya Faariha menepati janjinya
untuk menaikkan haji Ibu serta Aku. Dia bak cahaya terang dalam hidupku. Aku
sungguh bahagia hari itu. Sesampainya di bandar udara King Abdul Aziz, Jeddah,
Saudi Arabia. Aku menangis. Tibalah kami di sebuah tempat yang sangat
menakjubkan. Sebuah bangunan poros bagi umat Islam di Dunia. Kabah. Aku
menangis haru. Tapi, tragedi itu kembali. Ibu yang aku tuntun mengelilingi
kabah ambruk seketika. Aku kaget, aku bingung, apa yang seharusnya aku lakukan.
Faariha menolongku mencari bantuan dan membawa Ibu ke RS. Setibanya disana
ternyata ajal telah menjemput Ibu. Tangis haru seketika menyeruak dalam diriku.
Ruang ICU pun menjadi hening.
Kami memutuskan membawa pulang jenazah
Ibu ke Aceh. Ibu pun dimakamkan di dekat pusara Bibi Husna, Ibu dari Faariha.
Aku hanya bisa pasrah. Aku menciumi nisan yang bertuliskan nama Ibu. Hanya itu
yang dapat aku lakukan untuk mengobati rasa luka kehilangan seseorang yang paling
berarti dalam kehidupanku.
Mungkin Allah mempunyai jalan lain untuk
mencabut nyawa umatnya. Tak kusangka Ibu meninggal saat berada di Kabah. Tempat
yang begitu luar biasa. Sekarang aku hanya dapat melihat foto kenanganku
bersama Ibu dan Faariha dalam memori kelabuku. Tragis tapi, inilah akhir dari
sebuah tragedi pilu 26 Desember yang lalu. Jujur sulit untuk aku lupakan bahkan
hingga ajal menjemputku.