Senin, 09 Juli 2012

TRAGEDI PILU 26 DESEMBER


Ibu, sebuah kata singkat namun  memiliki makna yang dahsyat. Ibu, pelita hidupku. Tak dapat kusongsong waktu yang berliku  tanpa dukungan dan harapanmu. Tak dapat ku berlari  tanpa kau ada di sisiku. Ibu, kau bak pahlawan dalam hidupku. Kau bak telaga yang menyejukkan hatiku dari duka yang selalu mengiringi langkahku. Ibu, kau adalah cahaya dalam kegelapan malam. Engkau selalu datang di saat aku terlelap. Ibu aku sangat menyayangimu.....

Dingin dan hujan gerimis pun mengeringi hari-hari baruku. Dinginnya pagi ini seakan menusuk tulang-tulangku yang mulai kaku karena dinginnya waktu. Tapi, hatiku selalu hangat karena Ibu. Ibu yang menghangatkan dinginnya waktu dengan kasihnya yang tak terkira. Aku bak anak durhaka bila tak memeluk erat Ibuku. Ibuku lah panutan dalam hidupku. Doanya selalu mengiringi langkahku. Senyumnya laksana mentari pagi yang menghapus segala lukaku. Memang keluargaku bukanlah konglomerat, bukan juga saudagar maupun taipan atau bos perusahaan. Tapi, aku selalu bahagia berada di sisi Ibuku walau, Ibuku  memang bukanlah manusia sempurna. Memang Allah  menciptakan manusia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbeda. Ibu memang mengalami cacat fisik sejak lahir, beliau tak dapat berbicara alias bisu. Namun walau begitu, rasa sayangku tak akan pernah terhapus sayangku hanyalah untuk Ibu seorang.  Inilah kenangan yang tersisa sebelum bencana maha dahsyat itu mengubah segalanya. Mimpi dan harapanku serta Ibuku seakan lenyap ditelan keganasan air bah itu. Bencana tsunami telah merubah wajah tanah ronceng menjadi penuh dengan duka,  lara dan nestapa. Kebahagiaanku bersama Ibu sirna sudah. Aku harus rela kehilangan Ibuku orang yang aku sayangi.

26 Desember 2004

 Pukul 7.58 WIB aku merasa seperti ada sebuah guncangan yang begitu besar. Saat guncangan itu terjadi aku sedang mencuci pakaian di sungai dekat rumah. Guncangan itu semakin lama semakin terasa. Guncangan tersebut begitu luar biasa dahsyatnya. Bumi seakan murka, dengan sekali guncang dapat menghancurkan beribu rumah yang berada di atasnya. Semua berlari menyelamatkan diri. Mereka berlari seakan tak tentu arah. Sejujurnya aku bingung dengan apa yang terjadi ini. Aku memang merasakan gempa ini tapi, aku harus berbuat apalagi. Aku terdiam dalam sebuah kebisuan. Sekujur tubuhku lemas tak berdaya. Hatiku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan tak enak pun muncul seiring dengan isu yang mengatakan air di Pantai Lampuuk surut. Aku diam tanpa kata. Perasaanku sungguh campur aduk tak karuan. Pikiran-pikiran buruk pun menggelayuti seisi otakku. Aku ingin menangis. Aku tak tahu harus lari kemana. Sedangkan Ibu, beliau sedang berada di dekat Pantai Lampuuk. Sungguh aneh perasaanku ini. Aku bertanya pada diriku sendiri. Ibu, Ibu sekarang berada dimana?. Tak berapa lama kemudian,   Aku merasa ada yang menarik tanganku. Aku hampir terjatuh karena dia menarikku dengan sangat kuat.

 “Dilara, kau ingin mati! Kau tahu bila kau hanya diam disini kau akan tersapu ganasnya ombak.”

 Aku diam sejenak. “ Ombak, maksudmu apa? Aku tak tahu apa yang kau katakan?”.

“Aku tak bisa menjelaskan panjang lebar. Air laut di Pantai Lampuuk surut. Perasaanku juga sama seperti apa  yang kau rasakan. Aku sedih, aku bingung. Tapi, kita sekarang harus lari sampai kebukit itu. Mungkin disana kita bisa aman.”

“Ombak, ombak apa Faariha ?” Kataku tak mengerti.

“Kau tak pernah baca koran? Tsunami. Aku pernah membaca artikel itu. Stunami telah  meluluh lantahkan Papua Nugini pada 17 Juli 1998. Setidaknya 2.200 orang tewas dalam musibah itu. Aku tak ingin kau jadi korban?”, kata sahabatku Faariha dengan nada cemas.

Aku menuruti permintaan Faariha. Kami berdua berjalan menyusuri lebatnya pepohonan dan semak belukar. Faariha nampak menikmati perjalan kami ini. Ia tak segan membantuku bila aku kesulitan menempuh medan yang berat ini. Faariha pun berhenti dari langkah kaki yang tadinya cepat bak jet tempur. Faariha terdiam. Dia menerawang keatas. Tak sampai satu detik Ia menangis dan memaksaku untuk mencepatkan lajuku. Aku menurutinya dengan sedikit rasa aneh yang menyembul dalam benakku. Sesampainya di bukit, Faariha memelukku dengan sangat erat. Dia menangis. Aku yang ia peluk ikut meneteskan air mata. Sejenak aku dan Faariha terdiam dalam kepiluan. Tak sampai semenit, aku melepaskan dekapan hangat seorang sahabat. Faariha kaget, aku terdiam dalam kegalauan yang mendalam.

“Kau kenapa Dilara?”, kata Faariha kaget.

“Ibu, Ibuku ada di Pantai Lampuuk. Aku harus datang menyelamatkannya.”

“Sudah terlambat, lihat kebawah”. Faariha menunjuk kebawah ombak besar setinggi hampir 9 m menerjang semua yang dilaluinya. Aku melihat mereka seperti kapas yang berterbangan. Hatiku seakan terguncang. Aku tertunduk lesu. Aku duduk dengan posisi menengadah. Aku berdoa berharap ada jawaban dari sang Khaliq.

“Ya Allah selamatkan Ibuku. Selamatkan beliau dari murkamu ya Allah. Ya Allah hanya kepadaMu lah hamba meminta dan hanya kepadaMu lah hamba memohon . Kabulkanlah doa hambaMu yang sederhana ini Ya Allah.”

Faariha yang duduk disebelahku pun tak sanggup menyembunyikan kesedihannya. Ia menangis seraya mengusap kedua kelopak mataku yang berlumur air mata.

“Tabah dan selalu berdoa kepada Allah. Allah pasti akan mengabulkan doa anak sholeh seperti kau Dilara.”

Aku menangis tapi, aku juga bahagia memiliki sahabat seperti Faariha. Faariha, dia sebenarnya anak dari adik Ibuku. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Ayahnya tak tahu kemana rimbanya. Aku menganggapnya sebagai kakak karena usianya yang lebih tua 2 tahun dari aku. Faariha adalah seseorang yang sangat tegar menjalani lika liku kehidupan ini. Ia seorang yang ceria, ramah dan selalu taat kepada Allah. Cita-citanya sungguh mulia. Ia ingin menjadi Ustadzah. Dia ingin menaikkan haji Ibu dan Aku. Mulia sekali keinginannya. Tsunami mulai surut. Aku dan Faariha memutuskan untuk turun. Sesampainya dibawah.Aku tertegun melihat banyaknya mayat yang terkapar tak berdaya. Kaku, dingin, dan sangat mengenasakan. Aku tak kuat melihat mereka yang sudah menjadi jasad ini. Sampah hasil tsunami bercampur dengan mayat manusia.  Aku dan Faariha bingung. Tak ada orang yang mau memindahkan mayat-mayat ini. Mungkin, karena bantuan belum datang. Atau bahkan tak ada yang mau membantu.

“Dilara, kita harus membawa jasad-jasad ini ketempat yang lebih baik. Kasihan, aku tak tega melihatnya.”

Benar juga kata Faariha. Aku dan Faariha memutuskan untuk menjadi relawan sukarela. Toh tak ada salahnya juga kami membantu. Walau  tak ada upah sesen pun aku dan Faariha ikhlas lilahita’ala. Sebulan lamanya kami menjadi relawan. Sebulan pula tragedi itu terjadi. Rasa sedih karena kehilangan Ibu makin kental. Aku mengajak Faariha mencari Ibuku. Dari Banda Aceh hingga Singkil jauhnya aku mencari dengan langkah yang tak pasti. Kami menumpang sebuah kendaraan mirip tank dari Amerika. Aku takjub. Ternyata banyak relawan yang membantu evakuasi korban tragedi Aceh. Mulai dari Amerika, Brazil hingga Inggris bahu membahu menolong korban. Tak kalah salut relawan dari negeri sendiri. Luar biasa perjuangan mereka. Sampaialah kami ketempat tujuan Rumah Sakit Kota Meulaboh. Dari sekian banyak rumah sakit yang kami kunjungi. Kami belum pernah mengunjungi rumah sakit ini baik pasca tsunami maupun sebelum. Kami masuk. Gelap karena aliran listrik belum tersambung. Kami menuju lorong. Gelap malah lebih parah lagi. Banyak suara rintihan anak-anak yang membuat suasana semakin mencekam. Banyak orang  berlalulalang. Banyak pula orang-orang yang menangis karena mendapati sanak saudaranya telah tewas.  Kami menuju ke tempat yang lain. Cahaya mulai masuk melalui celah-celah dinding. Aku melihat banyak bercak darah. Aroma busuk pun mengelilingiku. Mungkin bau mayat. Faariha mendekati sumber bau itu dan mendapati mayat yang sangat mengenaskan. Aku dan Faariha berlari hingga menabrak seorang dokter.

 “Maaf,”kata Faariha dengan nada panik.

“Kalian mencari sanak saudara kalian”.

“Iya, saya mencari Ibu saya. Sudah sebulan mencari tapi hasilnya nihil.”

Dokter itu bernama Asir. Ternyata dia rekan satu sekolah Faariha saat SMP. Asir membantu kami mencari dimana Ibu berada. Dari dalam RS kami keluar berkeliling mengelilingi RS yang begitu luas. Sampai akhirnya kami kembali kedalam. Aku sudah pesimis tak mungkin aku bisa menemukan Ibu. Aku berbalik menatap lorong panjang itu. Aku melihat seorang wanita paruhbaya mengenakan kerudung putih dengan rok panjang berwarna hitam dan kemeja  putih berjalan sempoyongan menuju kearahku. Aku tertegun, inilah kuasa sang ilahi aku kenal betul. Dari parasnya hingga cara berjalannya. Itu Ibuku. Ibu yang aku sayangi. Aku berlari menuju kearah Ibuku. Aku menatapnya sejenak.  Dengan air mata yang membasahi pipiku aku memeluk erat Ibuku. Aku mencium kedua tangan Ibu yang dingin bagai es. Ibu tak sanggup menahan kepiluannya. Beliau menangis sejadinya. Begitu pula Faariha dan dokter Asir mereka ikut merasakan kebahagiaanku itu. Seisi ruang hening sejenak.

“Ibu. Dilara tak tahu lagi harus berkata apa. Hanya satu yang Dilara ingin ucapkan Ibu maafkanlah Dilara. Dilara tak bisa menjaga Ibu. Seharusnya Dilara berlari sampai ke Pantai Lampuuk untuk menyelamatkan Ibu. Tapi, semua sudah terlambat.”

Dengan kalimat yang kurang jelas Ibu berkata, “ Tak apa nak Ibu selalu menyayangimu. Allah maha Besar. Dia yang telah menyelamatkan Ibu dari Tragedi itu.”

Aku bahagia bisa kembali berkumpul dengan Ibu yang sangat aku sayangi. Walau bencana itu meluluh lantakan segalanya tapi, bencana itu tidak berarti  meluluh lantakan cinta dan kasih sayangku pada Ibu juga kepada Faariha sahabat sejatiku.

Waktu terus bergulir 7 tahun sudah bencana maha dahsyat itu terjadi. Duka belum sepenuhnya hilang dalam sanubariku. Bencana itu bak mimpi buruk bagiku dan tak mungkin dapat aku lupakan selamanya.

Akhirnya Faariha menepati janjinya untuk menaikkan haji Ibu serta Aku. Dia bak cahaya terang dalam hidupku. Aku sungguh bahagia hari itu. Sesampainya di bandar udara King Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia. Aku menangis. Tibalah kami di sebuah tempat yang sangat menakjubkan. Sebuah bangunan poros bagi umat Islam di Dunia. Kabah. Aku menangis haru. Tapi, tragedi itu kembali. Ibu yang aku tuntun mengelilingi kabah ambruk seketika. Aku kaget, aku bingung, apa yang seharusnya aku lakukan. Faariha menolongku mencari bantuan dan membawa Ibu ke RS. Setibanya disana ternyata ajal telah menjemput Ibu. Tangis haru seketika menyeruak dalam diriku. Ruang ICU pun menjadi hening.

Kami memutuskan membawa pulang jenazah Ibu ke Aceh. Ibu pun dimakamkan di dekat pusara Bibi Husna, Ibu dari Faariha. Aku hanya bisa pasrah. Aku menciumi nisan yang bertuliskan nama Ibu. Hanya itu yang dapat aku lakukan untuk mengobati rasa luka kehilangan seseorang yang paling berarti dalam kehidupanku.

Mungkin Allah mempunyai jalan lain untuk mencabut nyawa umatnya. Tak kusangka Ibu meninggal saat berada di Kabah. Tempat yang begitu luar biasa. Sekarang aku hanya dapat melihat foto kenanganku bersama Ibu dan Faariha dalam memori kelabuku. Tragis tapi, inilah akhir dari sebuah tragedi pilu 26 Desember yang lalu. Jujur sulit untuk aku lupakan bahkan hingga ajal menjemputku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar